Jumat, 22 April 2016

"Ketika Pikiran Dan Hati Mulai Saling Mengerti"

Pagi ini saat aku kembali dari perantauan aku disambut indahnya bias cahaya mentari pagi menyinari bumi yang sudah lama aku rindukan. Cahaya itu menembus tebalnya kabut pagi di pergunungan yang kokoh berdiri menjaga kumpulan manusia yang penuh kesederhanaan. Aku berjalan menuju keramaian para pedagang yang masih setia dengan cara tradisional yang penuh dengan canda tawa dan tawar menawar harga dagangan, seketika aku tersenyum bahagia melihat sekitar ku, seakan aku telah menemukan hal yang paling aku rindukan selama aku di perantauan. Saat matahari berjalan semakin jauh di upuk barat, aku melihat banyak kumpulan pemuda/pemudi yang bergerombolan menuju sebuah bukit untuk menikmati senja hari, dengan bahagia aku mengikuti mereka. Sesampainya di bukit itu aku memandang indah kampung halaman ku yang selama ini tidak aku temui dan entah kenapa aku langsung terdiam merenung kecewa ketika mendengar pembicaraan orang-orang disekitar ku yang sudah tidak lagi menggunakan bahasa nenek moyangnya.
"Pikiran ku memulai berdiskusi dengan hati."
P-"mengapa kau bersedih?"
H-"aku bersedih karena banyak hal yang telah berubah dari alam ku"
P-"bukan kah ini yang kau inginkan sapai kau pergi merantau?"
H-"sudah sangat lama rasanya kita tak berdiskusi, kini aku mulai mehilangan dirimu yang dulu polos"
P-"ya, sudah lama sejak kau mulai berkeinginan seperti jepang, dan kini lihat sekitar mu, semua mulai beranjak pergi meninggalkan kekunoan mereka dan bersiap untuk bersaing dengan cahaya perak kota-kota besar"
H-"mungkinkah kilauan cahaya kota yang membuatmu dangkal seperti ini?"
P-"aku berbicara sesuai kenyataan yang ada"
H-"benar, aku ingin kita seperti jepang yang maju, tetapi mereka juga mampu mempertahankan Kesenian, Bahasa dan Tradisi mereka."
P-"kau hanya manusia desa, sedangkan Jepang itu sebuah Negara, kua mulai berlebihan"
H-" Setidaknya kita seperti Jawa yang terus bertahan dengan Bahasa, Kesenian dan Tradisi mereka, sehingga kita memiliki identitas yang jas dan dikenal di Negara ini sebagai masyarakat yang maju"
P-"maju?? Bukankah kemajuan itu beradaa pada pembangunan insfratruktur??"
H-"ya benar apa yang kau katakan, akan tetapi masyarakat yang maju adalah masyarakat yang mampu memelihara dengan baik Bahasa, Kesenian dan Tradisi mereka seiring menemani jalannya insfratuktur yang ada, bukan malah mati  dimakan arus zaman"
P-"ya, aku mulai mengerti dengan keinginanmu, selama ini kita selalu bersama namun seolah-olah kita tersekat oleh pandangan dari dua sisi yang berbeda"
H-"baiklah, sudah saatnya kita kembali dan bersatu menemani daging, darah dan tulang belulang yang menjadi wujud nyata kita selama ini".
Kemudian aku berjalan menuju gubuk peristirahatanku sembari terus bertahan menghadapi arus kemajuan zaman yang sebenarnya bagi ku adalah sebuah kemunduran. Sembari berjan aku terus berharap agar "Bahasa, Adat Istiadat, Kesenian, Tutur, dan Tradisi" ini tidak hilang dibawa lari para gerombolan "KORO JAMU".

Rabu, 20 April 2016

Renungan pada semesta

Malam ini bulan enggan memberikan sinyarnya pada alam, dia lebih memilih bernyanyi sembari membiarkan hujan datang. Derasnya guyuran hujan di pelataran dan aku yang ditemani cahaya remang-remang dari sebatang lilin yang memberi ku daya hidup di tempat pengasingan ku. Sedangkan dibalik pintu yang usang itu aku mendengar ramainya teriakan para hewan yang mungkin sedang berbahagia atau mungkin malah sedang menderita, suara itu mengantar ku tidur.
Ketika fajar menyinsing dan matahari menunjukkan dirinya dari upuk timur dan tetesan hujan masih terdengar di pelataran, aku bangun dari tidur ku dan perlahan aku berjalan menuju teras yang mungkn sudah digenangi air hujan malam tadi. Aku berdiri didepan pintu sembari memperhatikan burung-burung yang terbang rendah seakan-akan enggan menapakkan kakinya ke bumi yang masih diselimuti embun dan sisa hujan tadi malam.
Ketika panasnya hari menyadarkan ku dari kesunyian alam yang mulai mengering, perlahan aku berjalan mencari keramaian yang mengasingkan ku. Selama dalam perjalanan aku terus memikirkan hal yang tidak pernah orang lain pikirkan, aku terus bertanya dalam pada diriku sendiri "kenapa para burung tadi hanya berkicau dan terbang rendah seakan enggan menginjak bumi?"
Sambil berjalan aku terus berpikir dan aku tiba-tiba dikagetkan oleh suara teguran dari seorang teman, dia bertanya sembari mengajakku menuju ke sebuah bukit yang terasingkan oleh alam dan aku mengiakan ajakannya.
Sesampainya kebukit itu aku ternyata menemukan jawaban dari pertanyaan ku sendiri, aku melihat bumi mengirimkan debu-debu berair mata ke beranda sekumpulan manusia yang tidak mengerti apa-apa.
Ternyata burung-burung yang terbang renda tadi memang enggan menapakkan kakinya kebumi, walau bumi diselimuti embun dan masih menyisakan dinginnya rintik huja tadi malam, ternyata burung-burung tadi merasakan panasnya hawa nafsu keserakahan manusia yang berjalan dimuka bumi ini.
Aku juga berpikir mungkin inilah sebabnya bulan enggan bersinar tadi malam, mungkin bumi telah berteriak kepanasan dan meminta langit untuk menurunkan hujan, dan teriakan para hewan dipelataran tadi malam sepertinya sebuah perayaan menyambut hujan yang datang.
Lalu aku meminta teman ku untuk mengantarkan aku kembali kegubuk pengasingan ku yang jauh dari hiruk pikuk manusia dan sedikit terhindar dari riuhnya gemuruh nafsu keserakahan manusia. Sesampainya aku di gubuk pengasingan ku, aku menyadari bahwa di gubuk yang sudah lusuh inilah aku bisa menjadi diriku sendiri dan sesekali keluar melawan arus orang-orang yang tidak perduli akan alam dengan harapan mereka semua sadar bahwa "kita tidak mewarisi alam ini kepada anak cucu kita, melainkan kita meminjam alam ini dari anak cucu kita yang akan kita kembalikan kepad mereka dengan keadaan baik".